Minggu, 14 Juni 2009

Meningkatkan Kesadaran Berbahasa Sunda


Oleh DINGDING HAERUDIN

DEMIKIAN pentingnya suatu bahasa bagi masyarakat pemakainya, kini menjadi perhatian dunia. UNESCO, sebagai Organisasi Pendidikan, Ilmiah, dan Kebudayaan dalam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pada bulan November 1999 menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Maka patut kita menghargai para pendahulu yang mengambil langkah cemerlang yang begitu arif dan bijaksana. Diperlakukannya bahasa-bahasa daerah seperti Sunda, Jawa, Bali, Madura, Bugis, Makassar, dan Batak sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional, serta dilindungi dengan dimasukkannya Pasal 36, Bab XV, UUD 1945.

Sangat terpujilah masyarakat yang begitu peduli untuk memelihara dan melestarikan bahasa daerah. Di samping bahasa Indonesia sebagai alat persatuan, bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya sebagai media komunikasi antar bangsa di dunia. Bahasa daerah (Sunda) pun memiliki hak hidup dan dipelihara masyarakatnya (masyarakat Sunda).

Pada hakikatnya semua macam dan ragam bahasa yang ada di seantero jagat ini adalah kehendak-Nya. Artinya dengan sengaja diciptakan oleh Allah SWT bagi semua umat manusia untuk dapat saling berhubungan (komunikasi). Oleh karena itu sungguh mulia umat yang menjunjung tinggi keagungan ayat-ayat Allah SWT. Wallohu a’lam bisawab, mungkin dapat dikaji lebih lanjut pada Ar-Rum Ayat 22 yang artinya, Jeung sawareh tina ayat-ayat-Na, Anjeunna ngayugakeun langit katut bumi jeung beda-bedana basa maraneh katut warna maraneh. Saestuna dina anu karitu teh kakandung ayat-ayat pikeun jalma-jalma anu palinter mah.

Berkaitan dengan Hari Bahasa Ibu Internasional, bahasa Sunda sebagai bahasa etnik Sunda maupun bahasa daerah lainnya, sedikit banyaknya telah banyak diperbincangkan nasib keberadaan dan penggunaannya di masyarakat. Para ahli bahasa telah banyak meneliti dan membuktikan bahwa bahasa Sunda di samping sebagai bahasa resmi kedua setelah bahasa Indonesia, juga menjadi pendukung bahasa nasional. Bahasa Sunda yang menjadi bahasa indung (ibu) hingga kini dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan. Penggunaan bahasa daerah di tingkat permulaan sekolah dasar itu penting, agar dapat memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain.

Bahasa Sunda tidak hanya sebagai alat komunikasi etnik Sunda. Bahasa Sunda juga sebagai alat pengembang serta pendukung kebudayaan Sunda itu sendiri. Akan sangat janggal ketika orang Sunda berbicara tentang budayanya, tetapi tidak menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantarnya. Bahkan teu keuna (terasa kurang menyentuh) apabila seorang pakar budaya Sunda, ketika akan berbicara di dalam forum kesundaan meminta izin kepada yang hadir untuk tidak berbicara dalam bahasa Sunda.

Patut kita syukuri, bahasa Sunda hingga tanggal 21 Februari tahun 2005 ini masih dipergunakan dalam berkomunikasi. Bahasa Sunda masih dipelajari sebagai mata pelajaran di SD dan SLTP; masih diteliti para ahli; dan masih dipupusti sebagai budaya warisan karuhun. Karena bila kita perhatikan basa indung (mother tongue) lainnya, tidak sedikit yang bernasib malang. Bahasa Indian di Amerika atau bahasa Aborigin di Australia, dan konon bahasa Kaili sebagai bahasa ibu masyarakat etnik Kaili yang mayoritas masyarakat Sulawesi Tengah, kini sudah di ambang kepunahan. Karena kepedulian masyarakat terhadap bahasanya sudah pudar.

Tidak demikian halnya dengan kondisi bahasa Sunda masa kini. Penulis yakin bahwa bahasa Sunda tidak akan mengalami hal serupa di atas. Dengan catatan generasi sekarang dan yang akan datang memiliki sikap positif terhadap bahasanya. Sikap bahasa itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sikap terhadap bahasa dan sikap berbahasa. Pertama, sikap terhadap bahasa penekanannya tertuju pada tanggung jawab dan penghargaan masyarakat terhadap bahasa yang dimilikinya. Sedangkan sikap berbahasa ditekankan pada kesadaran diri masyarakat dalam menggunakan bahasanya secara tertib.

Bertemali dengan kesadaran berbahasa suatu masyarakat, para ahli bahasa berkeyakinan bahwa bila seseorang semakin dekat dengan suatu bahasa, maka orang tersebut akan semakin terampil berbahasa maupun sikap positif berbahasanya. Dengan demikian, nilai sosial bahasa tersebut akan semakin tinggi. Untuk mencapai kondisi demikian, sejak dini bahasa Sunda harus sudah diperkenalkan kepada anak sebagai alat komunikasi di lingkungan keluarga dan sebagai alat transfer budaya. Terlebih lagi bila bahasa Sunda dipergunakan secara konsisten sebagai bahasa pengantar di TK, atau di SD pada kelas-kelas awal, yaitu kelas 1 s.d 3, di samping sebagai mata pelajaran atau bidang studi di SD dan SMP.

Tidak semua daerah di tanah air memiliki unsur pendukung yang strategis dalam memeliharan bahasa ibunya. Unsur pendukung itu di antaranya perguruan tinggi. Dan tidak pula semua perguruan tinggi di daerah/provinsi memiliki jurusan/program bahasa daerah. Lembaga pendidikan tinggi seperti UPI diharapkan menghasilkan calon guru bahasa Sunda yang berkualitas. Dengan idealisme yang melekat pada diri mereka, diharapkan mampu menciptakan iklim kesundaan yang kondusif, bagi muridnya bila kelak mengajar di SMP atau SMA.

Di samping Jurusan Pendidikan Bahasa Sunda, UPI juga memiliki Program PGTK dan PGSD. Di kedua program itu pun diberikan mata kuliah bahasa Sunda. Diharapkan para lulusan PGTK dan PGSD kelak secara proporsional dapat mengajarkan bahasa Sunda di SD, atau di TK sebagai bahasa pengantarnya. Demikian juga di Unpad, telah banyak menghasilkan lulusan yang menjadi para ahli linguistik maupun kesusastraan, dan peneliti yang kompeten.

**

BAHASA Sunda tak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat pendukungnya, termasuk pers yang memanfaatkannya sebagai alat komunikasi dengan publik. Pers berbahasa Sunda, seperti Mangle, Galura, Cupumanik, Giwangkara memiliki peran yang spesifik pada bahasa dan pers itu sendiri, yakni sebagai panutan, sebagai referensi, atau sebagai contoh yang benar. Artinya, bahasa pers tidak bisa membebaskan diri dari aturan kebahasaan. Indah sekali apabila bahasa Sunda pers diciptakan dengan kesadaran meningkatkan penggunaan bahasa Sunda.

Menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat untuk berbahasa Sunda tidak hanya didominasi oleh pers berbahasa Sunda. Telah pula dilakukan juga oleh pers berbahasa Indonesia yang beredar di Jawa Barat. Munculnya kekuatan bahasa Sunda dalam pers berbahasa Indonesia, bisa kita pandang sangat positif karena pemungutan bahasa Sunda menunjukkan kekuatan posisi pers daerah dan pendekatannya pada masyarakat pembacanya.

Pemungutan bahasa Sunda juga bertujuan untuk menyebarluaskan informasi kepada publik. Dengan tidak mengurangi rasa hormat terhadap kedudukan bahasa Indonesia, penggunaan istilah yang berasal dari bahasa Sunda (mungkin daerah lainnya) diduga lebih pas dan lebih bisa dipahami, daripada misalnya kurang tepat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

**

UNESCO menetapkan Hari Bahasa Ibu Internasional menimbulkan reaksi yang sangat positif, terutama dalam membangkitkan gairah masyarakat pemakai bahasa Sunda. Mengapa tidak, dengan adanya kesepakatan bangsa-bangsa seantero jagat ini, membuktikan pentingnya bahasa daerah, setidaknya bagi penutur aslinya, dan diharapkan pula kalangan pemerintah daerahnya.

Pada Pasal 5 ayat 7 Perda No. 5 Tahun 2003, tersirat bahwa pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan (Diknas) memfasilitasi pelaksanaan penggunaan bahasa pengantar pendidikan dari pengajaran di kelas-kelas permulaan (1-3) sekolah dasar dan taman kanak-kanak. Pada ketentuan umum Perda tersebut dinyatakan bahwa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jawa Barat mengemban tanggung jawab di bidang pemeliharaan bahasa daerah.

Idealnya, sebelum perda itu disosialisasikan kepada masyarakat luas, pemerintah daerah terlebih dahulu harus memelopori proses penggunaan dan pelestarian bahasa daerah (Sunda). Langkah tersebut penting dilaksanakan sebagai contoh untuk meyakinkan masyarakat akan pentingnya bahasa Sunda sebagai bahasa ibu yang sarat dengan karakter dan nuansa budaya daerah.

Gerakan yang menggembirakan telah dibuktikan oleh lembaga pemerintahanan di Kabupaten Bandung. Bupati Kabupaten Bandung patut mendapat penghargaan, beliau mewajibkan aparat pemerintahannya berbahasa Sunda setiap hari Senin. Bahkan setiap Salat Jumat khotib diwajibkan menggunakan bahasa Sunda dalam menyampaikan khutbahnya. Disusul Disbupar Provinsi Jabar mensosialisaikan berbahasa Sunda setiap hari Jum’at.

Yang menarik adalah adanya sangsi denda seribu rupiah untuk setiap kali kesalahan dalam berbahasa Sunda di jajaran karyawan di Disbudpar, shock therapy seperti itu cukup memacu aparat pemerintah untuk terampil berbahasa Sunda. Ini adalah angin segar bagi lembaga pemerintahan kota/kabupaten lainnya.

Kegiatan berbahasa memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakatnya dalam setiap situasi. Pada situasi komunikasi yang mencekam (istilah pakar bahasa Prof Dr. Yus Rusyana) yang disampaikan pada Konferensi Bahasa Nusantara (1999), bahasa daerah (Sunda) terkadang menyelinap dalam rapat dinas maupun komunikasi atasan dan bawahan. Alih kode itu cukup menghidupkan dan meluweskan hubungan yang kaku, untuk memberi variasi kepada wacana yang seragam, untuk menjelaskan pengertian yang abstrak, untuk membina keakraban, serta menyediakan kata, ungkapan, dan budi bahasa yang lebih cocok dalam suasana setempat. Fungsi demikian itu berlangsung, tetapi tidak pernah dihargai, malah mungkin dianggap mengganggu bahasa Indonesia yang benar dan baik. Untuk menghindari hal itu, sangat tepat langkah yang telah dilakukan oleh pimpinan pemerintahan, dari mulai gubernur, wali kota, dan bupati di wilayah Jawa Barat menetapkan satu hari khusus dalam seminggu untuk berbahasa Sunda di lingkungan pemerintahan provinsi, kota/kabupaten.

Tidak kalah pentingnya komitmen unsur pendukung pelestari bahasa Sunda yang dikemas dalam organisasi kesundaan. Organisasi kesundaan seperti LBSS, Paguyuban Pasundan, Yayasan Rancage, PPSS, DAMAS, dan sebagainya secara berkesinambungan melaksanakan berbagai kegiatan. Organisasi nirlaba yang di dalamnya adalah masyarakat Sunda yang memiliki idealisme dan kepedulian (bukan paduli) begitu tinggi, sangat wajar mendapat dukungan dari pemerintah. Tetapi akan sangat menyedihkan, bila organisasi kesundaan yang membela budayanya lenyap begitu saja ditelan masa, karena luput dari perhatian pemerintahnya.

**

KETETAPAN Hari Bahasa Ibu Internasional itu merupakan kesadaran bangsa di dunia. Bahasa ibu, tidak hanya bagian budaya yang harus dipelihara, juga merupakan alat berekspresi manusia dalam keberagaman. Disadari pula bahwa keberadaan bahasa ibu saat ini berada pada suasana multibahasa. Sehingga ada kemungkinan bahasa ibu akan lenyap begitu saja. Itulah sebabnya warga dunia dianjurkan agar ikut memperhatikan bahasa ibu yang sekarang berada dalam era global.

Baik masyarakat dunia maupun masyarakat Sunda di masa lalu hingga masa kini, tidak bisa melepaskan diri dari persinggungan dengan bangsa atau suku bangsa lainnya. Dari hasil persinggungan itu, sedikit banyaknya berpengaruh terhadap masing-masing bahasanya. Hal itu sudah merupakan kodrat alam yang tidak bisa dihindari. Maka tidak dapat dielakkan, Undak-usuk Basa Sunda (UUBS) yang konon pengaruh Jawa menjadi bagian yang turut memperkaya bahasa Sunda. Itulah yang kini menjadi unsur dari tatakrama berbahasa Sunda. Sehingga dikenal ada bahasa Sunda lemes, sedeng, dan kasar.

Polemik berkepanjangan tentang UUBS di kalangan ahli bahasa Sunda pun hingga saat ini tidak terhenti. Sebagian orang Sunda dan para ahli berpendapat, bahwa UUBS menjadi kendala sulitnya bahasa Sunda digunakan masyarakatnya. Tetapi di kalangan masyarakat Sunda dan para ahli lainnya tetap mempertahankannya. Hingga tak luput jadi bahan perdebatan pada setiap Kongres Bahasa Sunda I s.d VII dan KIBS. Hemat penulis, kesulitan masyarakat menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan kesehariannya, bukan karena ada dan tiadanya UUBS, tetapi alasan kebutuhan (keperluan) berbahasanya.

Masyarakat Sunda yang mahir berbahasa Inggris, fasih berbahasa Arab atau bahasa asing lainnya karena mereka merasa perlu. Bahkan dengan adanya kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi, menuntut masyarakat untuk mempelajarinya. Artinya, bila dihubungkan dengan kebutuhan, bahasa Sunda pun akan dipelajarinya.

Sangat sulit menempatkan bahasa Sunda pada posisi yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Malah ada sebagian masyarakat yang berpendapat bahwa bahasa Sunda tidak prospektif. Oleh karena itu yang terpenting sekarang adalah bagaimana menanamkan kesadaran berbahasa Sunda bagi masyarakat Sunda. Ini bukan berarti masyarakat Sunda harus kembali ke belakang. Masyarakat Sunda harus progresif. Masyarakat yang maju tidak lantas meninggakan akar budayanya. Kehidupan berbudaya yang demikian dinamis menantang masyarakat Sunda untuk mengimbanginya. Dengan memegang prinsip think globally act locally, masyarakat Sunda mampu memilah-milah dan memilih-milih kehidupan lokal, nasional, dan internasional.

**

BAHASA Sunda sebagai bahasa ibu tidak bisa dipisahkan dari peranan seorang Ibu (ema; indung, istilah Sunda) di rumah tangga. Di lingkungan keluarga itulah sedini mungkin ditanamkan kesadaran berbahasa Sunda. Ketika bayi berada dalam buaian, ketika anak menyusui, ketika Ibu menasihati, ketika Ibu menyapa, ketika Ibu mendoakan, ketika Ibu menghantar tidur, dan situasi lainnya, hingga ketika Ibu menghardik dipenuhi oleh bunyi-bunyi bahasa Sunda yang sarat dengan nilai-nilai budaya. Posisi seorang Ibu yang begitu terhormat bagi anak-anaknya, sangat strategis menggiring generasi penerusnya mencapai posisi yang cageur, bageur, bener, pinter, wanter, singer. Pola asuh untuk mencapai hal itu lebih tepat menggunakan media bahasa daerahnya. Kebiasaan itulah pada akhirnya memandu anak-anak memperoleh kesadaran dan kepercayaan yang lebih dalam merealisasikan jati dirinya, di samping memperoleh kebanggaan yang sah dan logis.

Bukan tanpa alasan UNESCO menetapkan Hari Bahasa Ibu Internasional ini. PBB merasa perlu mengembalikan masyarakat dunia kepada budaya lokal sebagai dasar berpijaknya. Di tangan seorang Ibu-lah, pemegang kunci awal dalam menggiring bangsanya ke arah itu. Dengan segala kelembutan bahasa dan kasih sayangnya, posisi seorang Ibu tidak bisa digantikan kedudukannya oleh sekolahan yang sangat mahal sekalipun. Lembaga pendidikan formal tidak akan menjamin seratus persen dapat memanusiakan manusia. Karena kondisi dunia yang semakin carut marut ini, sebagian besar dikarenakan ulah masyarakat berintelektual, yang nota bene mereka adalah insan akademis.

Kondisi dunia yang kini dipenuhi dengan kerawanan sosial, kekerasan, saling menghujat, saling menipu, saling mencaci, saling memfitnah, seakan-akan merestui kebebasan yang semakin tidak mengenal batas. Namun bila melalui pendekatan berbahasa yang santun, masyarakat Sunda tidak akan terbawa arus seperti itu. Kehidupan yang berpegang pada kearifan dalam kebersamaan terus bergulir tanpa henti, karena sesuai dengan pandangan hidupnya silih asah, silih asih, silih asuh.

Arus informasi mengalir begitu deras. Masyarakat Sunda pun dituntut berada pada posisi multibahasawan, untuk meraih Iptek yang semakin canggih. Dengan semangat Hari Bahasa Ibu Internasional ini, diharapkan dapat mengingatkan dan menumbuhkan kembali kesadarannya akan akar budayanya yang nyaris terlupakan.

Setiap budaya di mana pun di dunia ini, memiliki papakon (aturan) perilaku yang dibenarkan dan disalahkan. Melalui tutur kata seorang ibu yang begitu lemah lembut, akan sangat besar dampak psikologisnya kepada seorang anak, dalam memahami nilai-nilai budayanya. Tutur kata yang dipenuhi kasih sayang, bagaikan air susu yang mengalir, memberikan ketenteraman, kenyamanan, dan keindahan hidup yang paling berharga bagi putra-putri tercinta, seuweu siwi Pajajaran.***

*) Penulis, Sekretaris Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS), dosen, dan mahasiswa program S-3 PPS UPI.*

Sumber: Pikiran Rakyat, 19/02/2005

Bahasa Sunda, Dipelihara dan Dianiaya

Oleh H. USEP ROMLI H.M.

DEMO para pengarang Sunda ke kantor Dinas Pendidikan Provinsi Jabar, Rabu 14 Januari 2004, luput dari pemberitaan pers. Mungkin tidak memiliki nilai news terlalu penting. Padahal, demo yang dikoordinasikan Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PPSS) tersebut bertujuan membela upaya pemeliharaan bahasa Sunda, baik sebagai bahasa tutur (lisan) sehari-hari mayoritas penduduk Jawa Barat, maupun sebagai bahasa buku (tulisan). Mengapa diarahkan ke kantor Disdik Provinsi Jabar? Sebab, selama ini ditengarai, instansi yang dibebani kewajiban memelihara bahasa Sunda melalui program pengajaran, dengan dukungan dana resmi pemerintah daerah yang notabene uang rakyat, justru tidak melakukan tugasnya secara baik dan benar.

Instansi Disdik Jabar malah terkesan hendak “menganiaya” dan secara perlahan-lahan akhirnya memusnahkan bahasa Sunda. Kegiatan “sadis” tersebut, tampak dari penyediaan sarana pelajaran dan bacaan bahasa Sunda untuk sekolah-sekolah, yang tak memenuhi standar mutu, jika tidak dikatakan sakadaek-daek. Asal berupa buku, menggunakan bahasa Sunda, namun tak peduli bagaimana kualitasnya.

Jika diibaratkan bangunan, sama sekali menyalahi bestek. Para aparat di bidang pengawasan Pemda Jabar, juga DPRD Jabar yang membidangi pendidikan (Komisi C), akan segera turun tangan memeriksa, apabila ada sebuah bangunan tak sesuai bestek. Tapi diam seribu bahasa ketika di depan mata mereka berseliweran buku pelajaran bahasa dan bacaan bahasa Sunda yang tak sesuai “bestek”.

Mungkin mereka tidak tahu, atau tak mengerti, bahwa bukan bangunan yang menyalahi bestek saja yang akan cepat rusak dan membahayakan. Buku pelajaran dan bacaan bahasa Sunda yang tak memenuhi standar mutu alias menyalahi “bestek” pun, berakibat sama. Bahkan mungkin bahayanya lebih berlipat ganda.

Beruntung ada tulisan Bung Darpan Ariawinangun “Buku Busuk, Pengawasan Buruk” (”PR”, 23 Januari 2004), dan Ready Susanto “Rapor Merah Dinas Pendidikan” pada koran edisi yang sama. Jika tidak, mungkin publik akan tenang-tenang saja. Tidak tahu bahasa “ibu”-nya sendiri (jika masih mengakui) sedang dianiaya secara sistematis oleh sebuah instansi resmi pemerintah yang punya Perda tentang Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda (Perda No. 6/1996).

Saya terpaksa menyebut instansi, bukan oknum pejabat di instansi tersebut. Sebab, setelah dicecar habis-habisan sehubungan dengan penerbitan buku “Ranggeuyan Kadeudeuh” –buku bahan ajar sastra Sunda karya Tatang Saefulhayat, oleh Balai Bahasa Daerah Disdik Jabar, yang sangat tak bermutu (Juli-Agustus 2003), instansi Disdik Jabar masih juga menerbitkan buku “Pustaka”, buku pelengkap pengajaran aksara Sunda untuk murid SD (Agustus 2003), yang juga mengandung kesalahan-kesalahan prinsipil. Artinya, tak ada teguran atasan (pimpinan) kepada bawahan, sehingga kesalahan demi kesalahan tetap berulang dan terus berulang.

Kepada para demonstran PPSS, konon Kepala Disdik Jabar Iim Wasliman berjanji akan memperbaiki sistem pengadaan dan penerbitan buku ajar dan bacaan yang dibiayai projek di bawah wewenangnya. Semoga saja tidak tinggal janji seperti yang sudah-sudah.

Menurut informasi dari seorang pengurus Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Jabar, buku “Pustaka” merupakan cetak ulang dari buku sejenis, berjudul Ngalagena (September 2000). Cetak ulang tersebut, konon, merupakan langkah untuk menyelamatkan projek pengadaan buku Ranggeuyan Kadeudeuh yang batal total akibat penolakan dan kecaman kalangan sastrawan Sunda. Buku Ngalagena disusun oleh Drs. Idin Baidillah, Drs. Cucu Komara, dan Dra. Deuis Fitni, terbitan CV Walatra, Bandung. Di situ tertulis deretana nama pangjejer terdiri dari R.H. Abung Kusman; Prof. Dr. Edy S. Ekadjati; Drs. H. Kosim Kardana.

Prof. Dr. Eddy S. Ekadjati mengaku tidak tahu menahu mengenai pencantuman namanya sebagai pangjejer. Dalam tulisannya berjudul “Menyoal Buku Pengajaran Aksara Sunda” (”PR”, 26 Desember 2003), pakar sejarah dari Unpad yang juga salah seorang pemrakarsa rekonstruksi aksara Sunda menyatakan, ketika buku Ngalagena terbit, ia sedang atau masih berada di Jepang. Sehingga ia tidak diajak berembuk mengenai isi buku sebagaimana layaknya pangjejer. Sekaligus ia mengungkap berbagai kesalahan buku tersebut yang jika dibiarkan akan berdampak negatif terhadap anak didik. Apalagi anak tingkat SD. Artinya, upaya memasyarakatkan aksara Sunda sejak dini, akan gagal dan meninggalkan pemahaman yang salah berkepanjangan.

Apakah nama R.H. Abung Kusman dan Drs. H. Kosim Kardana juga sama “dicatut” seperti nama Prof. Dr. Edy S. Ekadjati? Penulis tidak tahu, karena kedua orang yang bersangkutan tidak menulis bantahan terbuka seperti Prof. Eddy

Pada buku “Pustaka” yang juga disusun Idin Baidillah, Cucu Komara dan Deuis Fitni, nama para pangjejer tadi hilang. Diganti oleh pangajen yang hanya seorang. Yaitu Drs. Undang A. Darsa, M. Hum. Di kalangan anggota PPSS, beredar kabar, nama Drs. Undang A. Darsa, M.Hum pun, merupakan “catutan”. Tapi entah benar entah tidak, karena yang bersangkutan tidak mengikuti jejak gurunya, Prof. Dr. Edy Ekadjati yang berani mengungkapkan ketidaketisan (oknum) yang berani “mencatut” nama orang untuk kepentingan tertentu.

Hal yang sama persis terjadi pada kasus buku Ranggeuyan Kadeudeuh. Pihak Disdik Jabar yang diberi kesempatan menggunakan “hak jawab” atas tulisan-tulisan yang menyerangnya di “PR”, menyatakan, akan dan telah melibatkan para pakar sastra dan bahasa dari UPI dan Unpad untuk menilai buku itu. Antara lain Drs. Iskandarwassid, M.Pd. Namun Pak Iswas (sebutan akrab Iskandarwassid) langsung mengatakan tak tahu- menahu dan tak pernah diajak-ajak, baik resmi atau tak resmi.

Itu menyangkut teknis pengadaan. Belum menyangkut isi buku keseluruhan. Para sastrawan yang menggugat penerbitan buku Ranggeuyan Kadeudeuh dalam beberapa tulisan di “PR sekitar Juli-Agutus 2003 — antara lain Rahmat Taufik Hidayat dan saya sendiri — telah mengungkapkan kesemrawutan buku tersebut. Kemudian Prof. Dr. Edy Ekadjati pun “menelanjangi” beberapa kesalahan buku Ngalagena dan “Pustaka”. Sedangkan Darpan Ariawinangun menyodorkan fakta-fakta tentang buku-buku pengajaran bahasa Sunda yang “busuk” dan “buruk” yang leluasa beredar di daerah-daerah, tanpa pengawasan sedikit pun dari pihak Disdik Jabar.

Semua itu, mungkin, berawal dari sistem pengadaan buku ajar dan bacaan bahasa Sunda yang ingin dikuasai sepenuhnya oleh pihak Disdik. Mulai dari mengadakan bahan-bahan (ditugaskanlah penulis-penulis “instan” sekali pun tidak memenuhi kualifikasi sebagai penulis), penerbitannya (apa susahnya membuat penerbit dadakan?), hingga penyebarannya (jalur Disdik kabupaten, kecamatan dan sekolah). Orang luar, termasuk penerbit-penerbit yang penuh dedikasi memelihara sekuat tenaga kelestarian bahasa dan sastra Sunda, tak perlu ikut campur.

Maka wajarlah timbul kesan, jika Disdik Jabar yang mengemban amanat pelaksanaan Perda No. 6 Tahun 1996, bukan saja tidak memelihara bahasa, sastra dan budaya Sunda, tapi malah menganiaya dan menghancurkannya melalui penerbitan-penerbitan buku ajar dan bacaan yang ditangani sendiri, yang “mencatut” nama para pakar, serta isinya sama sekali tidak menunjang pelestarian bahasa, sastra dan budaya Sunda. Padahal dana yang dikucurkan dari rakyat, c.q. Pemda Provinsi Jabar nilainya mungkin miliaran rupiah pertahun.

Jauh sebelum lahir Perda No. 6 Tahun 1996, ketika masih ada Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Kebudayaan dan Dinas Pendidikan & Kebudayaan, pengadaan buku ajar dan bacaan, baik untuk SD (ditangani bersama Dinas P dan K) maupun SMP dan SMA (ditangani sendiri oleh Kanwil Dikbud), berlangsung alamiah dan harmonis. Para penerbit buku-buku Sunda yang sudah jelas kiprahnya di masyarakat, diajak berembug dan diajak mengisi kebutuhan Kanwil dan Dinas dalam penyediaan buku ajar dan bacaan.

Hal itu merupakan kelanjutan dari program Projek Inpres Pengadaan Buku Bacaan Sekolah yang berlangsung sejak 1973/1974. Pada waktu itu, setiap tahun Depdikbud membeli ribuan hingga ratusan ribu eksemplar buku bacaan (sebagian besar jenis bacaan anak-anak SD/SMP), yang sudah beredar di pasaran. Keberadaan projek Inpres buku benar-benar membawa berkah tersendiri bagi dunia penerbitan nasional. Pada tahun 1980, sebagian kewenangan pengadaan buku Inpres diserahkan ke daerah-daerah via Kanwil Depdikbud. Terutama untuk mengisi kebutuhan bacaan berbahasa daerah.

Di Jabar, tentu saja penerbit buku-buku hahasa Sunda mendapat giliran panen. Jika biasanya, buku-buku bacaan bahasa Sunda hanya dicetak paling banyak dua ribu eksemplar, dan baru terjual habis dalam hitungan belasan tahun, setelah ada projek Inpres “daerah”, dapat langsung menjual minimal 20 ribu eksemplar, dan dibayar tunai pula setelah buku-buku tersebut diterima pihak sekolah.

Masa cerah penerbit buku Sunda tersebut berlangsung hingga pertengahan tahun 1990-an. Setelah itu, meredup kembali. Mungkin para penerbit buku Sunda yang terus bertahan tekun menerbitkan buku-buku Sunda, baik ada maupun tak ada projek Inpres, tidak akan terusik, jika saja tidak menyaksikan “permainan” yang dipertontonkan Disdik Jabar akhir-akhir ini. Yaitu mengadakan penerbitan buku-buku bernilai jutaan (mungkin miliaran) rupiah dengan dana projek pemerintah alias uang rakyat, tanpa mengacuhkan mutu isi buku dan aturan permainan penerbitan yang tertib dan sopan.

Para penerbit buku Sunda yang idealis — sebut saja di antaranya “Rahmat Cijulang”, “Kiblat Buku Utama” (Bandung) dan beberapa penerbitan buku Sunda lainnya di daerah — akan tetap menerbitkan buku Sunda, sesulit apa pun. Walaupun belum tentu mendapat keuntungan besar — bahkan modal pun baru akan kembali belasan tahun kemudian — penerbitan buku-buku Sunda tak akan terhenti. Mereka mendedikasikan diri kepada upaya pelestarian, pemeliharaan, dan pengembangan sastra, bahasa dan budaya Sunda, nyaris tanpa pamrih. Mereka menaburkan bibit-bibit pemahaman bahasa, sastra, dan budaya Sunda masa kini dan masa depan, tanpa mengharapkan imbalan kontan. Melainkan cita-cita luhur, sastra, bahasa, dan budaya Sunda dapat terwariskan dari generasi ke generasi melalui penerbitan buku yang dapat dipertanggungjawabkan isi dan mutunya.

Dukungan mungkin ada. Tapi bersifat insidental dan beragam. Yayasan “Rancage” misalnya, memberi hadiah sastra bagi buku sastra, dan buku cerita kanak-kanak Sunda (plus buku sastra Jawa dan Bali) terbaik setiap tahun. Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS) memberi hadiah sastra bagi karya-karya sastra terbaik (prosa, puisi, esei) yang dimuat di media berbahasa Sunda setiap tahun, dan memberi rekomendasi bagi buku pelajaran bahasa Sunda terbaik. Paguyuban Pasundan juga menyediakan hadiah tahunan bagi karya jurnalistik dan karya sastra Sunda.

Sepengetahuan penulis, sejak muncul hadiah Sastra “Rancage” (1989) dan hadiah sastra LBSS (1990), diikuti hadiah serta rekomendasi buku pengajaran bahasa Sunda terbaik (sejak tahun 1999), belum terdengar pihak Disdik Jabar membeli satu atau dua judul buku pemenang “Rancage”. Misalnya, buku-buku ceritera kanak-kanak pemenang hadiah “Samsudi” (bagian dari “Rancage”) seperti “Si Paser” karya Tatang Sumarsono atau “Legok Pari” karya Dadan Sutisna, yang cocok untuk bacaan anak SD. Atau buku kumpulan cerpen “Halimun Peuting” karya Iskandarwassid, “Jajaten Ninggang Papasten” karya Yus Rusyana.

Padahal Pak Iswass dan Yus Rusyana diklaim sebagai “penasihat” dan “penilai” bagi buku-buku Sunda terbitan Dikdis. Bahkan buku-buku Godi Suwarna, yang pernah mendapat “Rancage” tahun 1991 dan 1992, juga tak pernah dilirik Disdik. Padahal Godi yang terkenal sebagai penyair dan aktor teater itu hingga saat ini masih tercatat sebagai karyawan Disdik Kab. Ciamis. Disdik Jabar rupanya lebih memilih menciptakan pengarang “instan” yang tak tahu apa-apa tentang teknis dan hakikat penulisan sebuah karya, daripada mendayagunakan orang-orang yang sudah jelas kemampuannya.

Juga Disdik Jabar belum pernah terdengar membeli buku pengajaran bahasa Sunda yang direkomendasikan LBSS untuk digunakan di sekokah-sekolah. Mereka tampak lebih suka membuat sendiri, seburuk apa pun hasilnya. Yang penting, dana projek dapat dipertanggungjawabkan secara administratif.

Mengakhiri tulisan pedas ini, penulis nyatakan secara tegas, secara tak sadar Disdik Jabar sebagai salah satu instansi pengemban amanat Perda No. 6 Tahun 1996, telah melakukan “penganiayaan” dan “pembunuhan” sistematis terhadap bahasa, sastra, budaya dan aksara Sunda. Buktinya, adalah penerbitan dan penyebaran buku-buku “busuk” (meminjam istilah Darpan Ariawinangun) yang menyalahi “bestek” nilai kebahasaan, kesastraan dan kebudayaan Sunda.

Jika tidak percaya, silakan Bawasda dan Komisi E DPRD Jabar melakukan pelacakan dan penyelidikan. Penulis juga berharap, organisasi yang bergerak di bidang sastra dan budaya Sunda, seperti LBSS dan Paguyuban Pasundan, ikut turun tangan. Kalau perlu melakukan class action, mengingat “lampu merah” penghancuran bahasa, sastra, budaya dan aksara Sunda oleh Disdik Jabar, sudah lama menyala.***

Penulis wartawan dan sastrawan.

Penguatan Sastra Sunda di Daerah

Tahun 2000-an, penyair Taufik Ismail bersama majalah sastra Horison pernah menggelar Sastrawan Bicara Siswa Bertanya atau SBSB di sejumlah sekolah dan kampus di Indonesia. Aktivitas itu pernah juga dilakukan para sastrawan Sunda tahun 1970-1980-an.

Pada periode yang juga sangat subur dengan kehidupan kreatif bersastra itu, sejumlah sastrawan Sunda menggelar apresiasi sastra untuk pelajar di berapa kota di Jawa Barat, termasuk Banten. Namun, kegiatan itu tidak berlangsung terus-menerus alias putus karena berbagai permasalahan.

Tahun 2007, niat semacam itu tumbuh dalam organisasi Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PPSS). Beberapa waktu lalu, organisasi yang digawangi para sastrawan dan pemain teater muda ini melakukan uji coba silaturahim sastra dengan beberapa kepala sekolah dasar di Cicalengka, Bandung. Hasilnya, PPSS mendapat masukan agar melakukan sosialisasi sastra, termasuk bahasa Sunda, ke sekolah-sekolah. Apalagi, kegiatan seperti itu akan sangat membantu pihak sekolah untuk mengenalkan aneka ragam bentuk sastra dan pembelajarannya kepada siswa.

Dari pertemuan itu juga terbaca rendahnya minat baca sastra guru dan siswa. Hal itu berhubungan dengan kurangnya minat, tidak memadainya kesejahteraan untuk mengonsumsi sastra, sedikitnya informasi mengenai sastra Sunda, kurang (tidak) tersedianya bahan-bahan bacaan sastra, serta tidak adanya akses untuk memasuki sastra Sunda secara cepat dan akurat. Apalagi jika itu berhubungan dengan teknik pembelajaran basa dan sastra Sunda.

Bergulirnya otonomi daerah serta menguatnya berbagai hal yang berhubungan dengan lokalitas memberi semangat baru pula kepada sejumlah sastrawan Sunda. Apa yang dilakukan PPSS adalah gejolak terpendam yang kemudian mendapat sambutan pula dari publik, khususnya para guru di sekolah-sekolah.

Hal itu juga terlihat jelas ketika PPSS menggelar Sastra Sunda Saba Sakola pada Mei 2007 di Pakenjeng, Kecamatan Rancabuaya, Kabupaten Garut. Antusiasme guru dan siswa sekolah dasar hingga menengah terlihat besar. Kehausan mereka untuk mengenal lebih jauh beragam sastra Sunda tampak terobati oleh peristiwa langka itu. Sayang, acara itu hanya dapat dilangsungkan satu hari. Tentu saja ini berhubungan erat dengan berbagai hal yang secara teknis memang berat dan mahal. Keperluan realistis

Memang tak cukup satu hari agar pertemuan semacam itu dapat berlangsung terus-menerus. Titik temu para sastrawan dengan guru dan pelajar lewat acara semacam Saba Sastra itu, terutama di daerah, merupakan penguatan untuk mewujudkan gagasan agar sastra Sunda kembali menjadi keperluan kolektif masyarakat Sunda saat ini dan nanti. Keperluan itu sebetulnya realistis dan nyata.

Namun, kebijakan dan perhatian pemerintah daerah dan wilayah/provinsi yang kurang terhadap dunia pendidikan, khususnya sastra Sunda, harus diubah dengan cara proaktif dari para sastrawan dan tentu saja guru. Lewat pintu masuk semacam PPSS atau organisasi lainnya, yang memang peduli dan berhasrat besar untuk memajukan sastra Sunda, sastrawan Sunda dapat mendesak pemerintah untuk merevisi kebijakan mereka dalam pendidikan atau pembelajaran basa dan sastra Sunda di sekolah.

Begitu pula peran dewan sekolah dan pemerhati budaya Sunda agar mengetahui alokasi anggaran untuk penyebaran karya-karya sastra Sunda di sekolah-sekolah. Maka, akan ada kontrol, berapa dan sejauh mana karya-karya sastra Sunda tersebar di SD, SMP, dan SMA. Selama ini, terutama sebelum menguatnya otonomi, kita mungkin melihat peta buta dalam penyebaran karya sastra Sunda untuk sekolah dan perpustakaan umum. Maka, di zaman keterbukaan saat ini penyebaran karya sastra di sekolah harus dapat dilihat keberadaannya serta dapat dikontrol efektivitasnya.

Kontrol terhadap dunia pendidikan kita memang harus diperketat, terutama karena kecenderungan korupsi dalam dunia pendidikan tetap saja kuat. Penyalahgunaan dana BOS dan berbagai hal lain yang mengindikasikan kejahatan dalam dunia pendidikan masih kuat. Pada pertemuan guru-guru Basa dan Sastra Sunda SD, SMP, dan SMA se-Kota dan Kabupaten Bandung, serta beberapa wakil Ketua MGMP dari berbagai kota di Jawa Barat di Gedung YPK, 9-11 Mei 2007, terungkap bahwa tak satu pun dari mereka menerima kurikulum KTSP Basa Sunda yang seharusnya mereka terima dari Kantor Wilayah Dinas Pendidikan Jawa Barat.

Padahal, tentu saja kurikulum baru yang akan menjadi pedoman guru untuk mengajar itu seharusnya sudah mereka terima. Kita tahu bahwa anggaran untuk mencetak kurikulum dan menyebarkannya pasti mencapai miliaran rupiah. Harus serius

Jika persoalan kurikulum saja-yang alokasi dananya tentu lebih sedikit daripada bantuan pengadaan buku karya sastra atau buku pelajaran di sekolah-tidak sampai, para guru dalam MGMP dan organisasi semacam PPSS mungkin bisa melakukan semacam gugatan hukum jika memang terbukti ada penyalahgunaan dalam hal tersebut. Sebab, dalam kebutuhan pengadaan buku sastra dan buku pel-ajaran di sekolah, peran guru sangat penting. Tanpa inisiatif mereka, bahan ajar utama dan bahan ajar pembantunya tidak akan sampai sehingga pembelajaran basa dan sastra Sunda terhambat, atau malah gagal karena tidak ada atau kurang bahan.

Masuknya sastrawan ke sekolah sebagai penguat apresiasi tentu akan lebih mudah apabila dasar-dasar apresiasi hingga kritik basa dan sastra Sunda telah ada sebelumnya di sekolah. Salah satu petunjuk kuatnya adalah adanya bahan-bahan karya sastra itu di sekolah. Bila tidak, jurang apresiasi akan makin melebar dan sastrawan masuk ke sekolah atau saba sakola akan lama untuk beradaptasi.

Meskipun bahan-bahan sastra itu belum ada karena berbagai hal, kegiatan sastrawan masuk sekolah atau memberi penguatan apresiasi langsung ke daerah-daerah jangan sampai surut, apalagi jika ada sejumlah sponsor swasta yang punya perhatian besar terhadap hal ini. Alanglah tidak wajar jika pemerintah provinsi dan pemerintah setempat (tiap daerah) tidak serius memperjuangkan pendidikan basa dan sastra Sunda yang serius ini.

ERIYANDI BUDIMAN Sastrawan dan Pengamat Budaya

Sumber: Kompas, 14 Juli 2007

Kampanye Bahasa & Sastra Sunda di Garut

BAHASA dan sastra Sunda ternyata perlu dikampanyekan terus. Termasuk di Garut, sebuah kota Tatar Priangan. Bahasa Sunda Priangan yang dijadikan bahasa lulugu (baku), dan digunakan secara luas oleh orang Sunda, serta dijadikan bahan ajar di sekolah-sekolah. Selain bahasa Sunda lulugu, juga terdapat bahasa Sunda wewengkon (dialek setempat), seperti bahasa Sunda Banten, Cirebon, Bogor, dan daerah-daerah perbatasan dengan wilayah lain yang juga punya bahasa daerah tersendiri. Mengapa Garut sebagai kawasan bahasa Sunda lulugu harus menjadi ajang “kampanye” bahasa Sunda?

“Sekadar untuk penyegaran dan perkenalan masyarakat Garut dengan tokoh-tokoh bahasa dan sastra Sunda yang selama ini hanya diketahui namanya melalui tulisan,” kata Darpan Ariawinangun, salah seorang penggerak kegiatan tersebut. Bersama komunitas “Mangsi Universitas Garut” (Uniga), Darpan memprakarsai acara Ngahirup-huripkeun Basa jeung Sastra Sunda, yang diisi orasi Ajip Rosidi, serta bedah buku Gunem Rencep Sidem karya Enas Mabarti (Kiblat Buku Utama, Bandung, 2003) oleh penyair Acep Zamzam Noor dan H. Usep Romli H.M.

Acara yang mendapat dukungan dari Bupati Garut, Agus Supriadi beserta jajaran Pemkab Garut, berlangsung di Pendopo Kabupaten Garut, Senin (28/2). Dimeriahkan penampilan gelar teatrikal anak-anak SMAN 2 Tarogong yang tergabung dalam “Teater Awal” pimpinan Ombi S., shalawatan dari dosen dan mahasiswa Uniga, grup “El Nadom” garapan Hadi A.K.S. dan kawan-kawan, dari Bandung, pembacaan puisi Euis Balebat aktivis “Teater Sunda Kiwari” dan Panglawungan Pangarang Sastra Sunda (PPSS). Hadir pula tokoh dan aktivis seni-budaya Garut, seperti Asep Mulyana (padalangan), Dimyati (LBSS Garut), Ade Kusumah (tari), Dedi Effendi (penyair/pelukis Garut), guru-guru SD/SMP/SMA dari tiap kecamatan, dll. Mereka semua antusias mengikuti acara sejak awal hingga akhir.

Proses pendidikan

Dalam orasinya, Ajip Rosidi menyatakan, kebijakan pemerintah sejak mulai merdeka hingga zaman presiden keenam sekarang belum berpihak kepada kehidupan seni-budaya. Pemerintah masih menganggap seni budaya sebagai barang jadi. Bukan hasil proses pendidikan yang panjang dan sungguh-sungguh.

“Sehingga produk seni budaya yang sudah dianggap barang dagangan. Sajian bagi para wisatawan. Akibatnya, nilai seni budaya merosot. Yang dapat dikemas untuk dijual, mampu bertahan walaupun semakin tidak bermutu, sekaligus tak berkembang, dan tak mendapat apresiasi yang luas dari masyarakat, karena konsumennya terbatas di hotel-hotel atau acara-acara resmi kenegaraan belaka. Di sekolah-sekolah tak ada mata pelajaran seni budaya yang mengandung unsur pengetahuan dan pengenalan terhadap seni-budaya lokal, bahkan nasional. Akibatnya, anak-anak dan generasi muda tidak lagi punya rasa bangga terhadap seni-budaya sendiri. Juga tidak mengerti makna dan nilai estetisnya. Mereka lebih suka menyerap bentuk-bentuk seni budaya asing,” papar Ajip.

Ajip membandingkan dengan sistem pendidikan kolonial, yang sangat intensif mengajarkan dan mendidik siswa-siswa sekolah untuk mengenal dan mengagumi seni budaya Barat. Kepada anak-anak diajarkan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar utama, bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, dan bahasa Prancis atau Jerman sebagai salah satu bahasa pilihan. Di tiap tingkat kelas, mereka diwajibkan membaca 10 hingga 20 judul buku dalam bahasa-bahasa tersebut. Maka ketika lulus AMS atau HBS (setingkat SMA), mereka sudah benar-benar siap menerima warisan seni budaya Barat, karena mereka sudah menguasai minimal tiga bahasa Barat. Tokoh-tokoh nasional seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Natsir, adalah sebagian kecil dari ahli waris Barat itu. Dan hanya sebagian kecil tokoh-tokoh Indonesia di zaman prakemerdekaan yang mengenal seni-budaya daerah atau nasional.

“Dapat dibayangkan dampaknya bagi pertumbuhan bangsa dan negara di masa depan. Apalagi setelah merdeka, sistem pendidikan nasional menganut pola kolonial. Tapi terbatas pada yang diterapkan di sekolah-sekolah rendah di bawah AMS/HBS. Yaitu sekolah desa atau sekolah rakyat yang bertujuan mendidik anak-anak Indonesia untuk menjadi birokrat rendahan, setingkat juru tulis kecamatan atau klerek kantor. Sedangkan sistem pendidikan AMS/HBS yang menjadikan siswa berpengetahuan luas, menguasai bahasa asing, dan punya apresiasi tinggi terhadap seni-budaya, tidak digunakan lagi. Sekolah setingkat SMA dan perguruan tinggi pun diarahkan untuk mencari kerja,” kata Ajip lagi.

Yang memprihatinkan adalah sikap pemerintah dan masyarakat terhadap bahasa nasional. Di kota-kota, di hotel dan pusat perdagangan, digunakan atribut-atribut bahasa asing. Konon, karena bahasa Indonesia tidak bergengsi di tengah percaturan kota yang sibuk oleh kepentingan bisnis dan promosi wisata. Anehnya pemerintah tidak tersinggung bahasa nasionalnya sendiri dilecehkan. Lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia dan Daerah juga tidak bereaksi apa-apa menyaksikan bahasa Indonesia dianggap lebih rendah dan tidak bergengsi di negaranya sendiri.

“Padahal yang menginap di hotel, yang datang ke pusat-pusat perdagangan hampir seluruhnya orang Indonesia, yang belum tentu mengerti bahasa Inggris. Itu perlakuan terhadap bahasa Indonesia yang oleh UUD 1945 diakui resmi sebagai bahasa nasional. Perlakuan terhadap bahasa daerah tentu lebih parah,” Ajip menegaskan dan mengharap agar masyarakat pemakai bahasa Sunda tidak kecil hati atau rendah diri. Sebab tak sedikit orang yang sukses dengan bermodalkan bahasa Sunda.

“Saya sering diundang ke berbagai negara di seluruh dunia, karena menguasai bahasa Sunda, bicara dan menulis dalam bahasa Sunda,” demikian Ajip Rosidi yang selama 20 tahun (1982-2002) mengajar bahasa Indonesia — seraya memperkenalkan bahasa, sastra dan budaya Sunda — di beberapa perguruan tinggi Jepang. Kepada Pemkab Garut, Ajip mengimbau agar memanfaatkan otonomi daerah untuk mengembangkan kehidupan bahasa dan sastra Sunda. Sangat menggembirakan jika Bupati Garut mewajibkan bahasa Sunda dipakai di lingkungan pemerintahan dan dijadikan bahasa pengantar pokok di sekolah-sekolah. Imbauan Ajip itu mendapat sambutan tepuk tangan sangat meriah dari hadirin.

Sastrawan lokal

Dalam membedah buku Gunem Rencep Sidem, H. Acep Zamzam Noor menyatakan kekaguman. Ia mengaku muringkak bulu punduk (meriding) tatkala membaca bait-bait puisi karya Enas Mabarti itu.

“Selain karena bahasa Sunda yang digunakannya memang indah, isinya juga sangat bernas. Saya mendapat kenikmatan tersendiri, sebagaimana saya rasakan ketika membaca beberapa puisi Rendra dan beberapa penyair lain yang puisinya memang istimewa,” kata Acep yang meminta agar Enas Mabarti melanjutkan kegiatannya berpuisi serta menghasilkan puisi-puisi yang lebih bagus lagi.

Para hadirin tampak terenyak. Beberapa orang di antaranya mengaku merasa kaget, jika di kotanya terdapat seorang sastrawan yang mampu menulis puisi semacam Gunem Rencep Sidem. Ketika ada yang menjelaskan bahwa di Garut banyak sastrawan, baik di masa silam maupun bibit-bibit harapan di masa depan, mereka lebih terkejut lagi. Nama-nama sastrawan Garut yang berkaliber “bujangga”, seperti K.H. Hasan Mustapa (mistikus/filosof/penyair) , R.Suriadiraja (pengarang wawacan Purnama Alam), R. Tjandra Dipraja (pengarang wawacan Rusiah nu Geulis), Ahdiat Kartamihardja (pengarang roman Atheis) dan lain-lain. Belum terhitung di bidang lain, seperti Sadali, Popo Iskandar (seni lukis), Ahmad Noeman (arsitek), dan sebagainya.

“Inilah perlunya para tokoh seni budaya Sunda dari Bandung, datang ke Garut dan kota-kota lain. Agar masyarakat setempat mengetahui perkembangan seni budaya secara berkesinambungan. Tidak kurung batok (berwawasan sempit),” kata mereka.

Sebuah keinginan yang jelas merupakan aspirasi daerah. Tinggal kesanggupan menyikapinya dengan kerja nyata. Pertemuan Ngahirup-huripkeun Bahasa jeung Sastra Sunda, dan bedah buku karya sastrawan lokal, hanya semacam langkah pertama. Perlu langkah-langkah selanjutnya yang kontinu. Jangan berhenti hanya sebatas “kampanye”. (H. Usep Romli H.M.)***

Sumber: Pikiran Rakyat, 05/04/2005