Minggu, 14 Juni 2009

Kampanye Bahasa & Sastra Sunda di Garut

BAHASA dan sastra Sunda ternyata perlu dikampanyekan terus. Termasuk di Garut, sebuah kota Tatar Priangan. Bahasa Sunda Priangan yang dijadikan bahasa lulugu (baku), dan digunakan secara luas oleh orang Sunda, serta dijadikan bahan ajar di sekolah-sekolah. Selain bahasa Sunda lulugu, juga terdapat bahasa Sunda wewengkon (dialek setempat), seperti bahasa Sunda Banten, Cirebon, Bogor, dan daerah-daerah perbatasan dengan wilayah lain yang juga punya bahasa daerah tersendiri. Mengapa Garut sebagai kawasan bahasa Sunda lulugu harus menjadi ajang “kampanye” bahasa Sunda?

“Sekadar untuk penyegaran dan perkenalan masyarakat Garut dengan tokoh-tokoh bahasa dan sastra Sunda yang selama ini hanya diketahui namanya melalui tulisan,” kata Darpan Ariawinangun, salah seorang penggerak kegiatan tersebut. Bersama komunitas “Mangsi Universitas Garut” (Uniga), Darpan memprakarsai acara Ngahirup-huripkeun Basa jeung Sastra Sunda, yang diisi orasi Ajip Rosidi, serta bedah buku Gunem Rencep Sidem karya Enas Mabarti (Kiblat Buku Utama, Bandung, 2003) oleh penyair Acep Zamzam Noor dan H. Usep Romli H.M.

Acara yang mendapat dukungan dari Bupati Garut, Agus Supriadi beserta jajaran Pemkab Garut, berlangsung di Pendopo Kabupaten Garut, Senin (28/2). Dimeriahkan penampilan gelar teatrikal anak-anak SMAN 2 Tarogong yang tergabung dalam “Teater Awal” pimpinan Ombi S., shalawatan dari dosen dan mahasiswa Uniga, grup “El Nadom” garapan Hadi A.K.S. dan kawan-kawan, dari Bandung, pembacaan puisi Euis Balebat aktivis “Teater Sunda Kiwari” dan Panglawungan Pangarang Sastra Sunda (PPSS). Hadir pula tokoh dan aktivis seni-budaya Garut, seperti Asep Mulyana (padalangan), Dimyati (LBSS Garut), Ade Kusumah (tari), Dedi Effendi (penyair/pelukis Garut), guru-guru SD/SMP/SMA dari tiap kecamatan, dll. Mereka semua antusias mengikuti acara sejak awal hingga akhir.

Proses pendidikan

Dalam orasinya, Ajip Rosidi menyatakan, kebijakan pemerintah sejak mulai merdeka hingga zaman presiden keenam sekarang belum berpihak kepada kehidupan seni-budaya. Pemerintah masih menganggap seni budaya sebagai barang jadi. Bukan hasil proses pendidikan yang panjang dan sungguh-sungguh.

“Sehingga produk seni budaya yang sudah dianggap barang dagangan. Sajian bagi para wisatawan. Akibatnya, nilai seni budaya merosot. Yang dapat dikemas untuk dijual, mampu bertahan walaupun semakin tidak bermutu, sekaligus tak berkembang, dan tak mendapat apresiasi yang luas dari masyarakat, karena konsumennya terbatas di hotel-hotel atau acara-acara resmi kenegaraan belaka. Di sekolah-sekolah tak ada mata pelajaran seni budaya yang mengandung unsur pengetahuan dan pengenalan terhadap seni-budaya lokal, bahkan nasional. Akibatnya, anak-anak dan generasi muda tidak lagi punya rasa bangga terhadap seni-budaya sendiri. Juga tidak mengerti makna dan nilai estetisnya. Mereka lebih suka menyerap bentuk-bentuk seni budaya asing,” papar Ajip.

Ajip membandingkan dengan sistem pendidikan kolonial, yang sangat intensif mengajarkan dan mendidik siswa-siswa sekolah untuk mengenal dan mengagumi seni budaya Barat. Kepada anak-anak diajarkan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar utama, bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, dan bahasa Prancis atau Jerman sebagai salah satu bahasa pilihan. Di tiap tingkat kelas, mereka diwajibkan membaca 10 hingga 20 judul buku dalam bahasa-bahasa tersebut. Maka ketika lulus AMS atau HBS (setingkat SMA), mereka sudah benar-benar siap menerima warisan seni budaya Barat, karena mereka sudah menguasai minimal tiga bahasa Barat. Tokoh-tokoh nasional seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Natsir, adalah sebagian kecil dari ahli waris Barat itu. Dan hanya sebagian kecil tokoh-tokoh Indonesia di zaman prakemerdekaan yang mengenal seni-budaya daerah atau nasional.

“Dapat dibayangkan dampaknya bagi pertumbuhan bangsa dan negara di masa depan. Apalagi setelah merdeka, sistem pendidikan nasional menganut pola kolonial. Tapi terbatas pada yang diterapkan di sekolah-sekolah rendah di bawah AMS/HBS. Yaitu sekolah desa atau sekolah rakyat yang bertujuan mendidik anak-anak Indonesia untuk menjadi birokrat rendahan, setingkat juru tulis kecamatan atau klerek kantor. Sedangkan sistem pendidikan AMS/HBS yang menjadikan siswa berpengetahuan luas, menguasai bahasa asing, dan punya apresiasi tinggi terhadap seni-budaya, tidak digunakan lagi. Sekolah setingkat SMA dan perguruan tinggi pun diarahkan untuk mencari kerja,” kata Ajip lagi.

Yang memprihatinkan adalah sikap pemerintah dan masyarakat terhadap bahasa nasional. Di kota-kota, di hotel dan pusat perdagangan, digunakan atribut-atribut bahasa asing. Konon, karena bahasa Indonesia tidak bergengsi di tengah percaturan kota yang sibuk oleh kepentingan bisnis dan promosi wisata. Anehnya pemerintah tidak tersinggung bahasa nasionalnya sendiri dilecehkan. Lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia dan Daerah juga tidak bereaksi apa-apa menyaksikan bahasa Indonesia dianggap lebih rendah dan tidak bergengsi di negaranya sendiri.

“Padahal yang menginap di hotel, yang datang ke pusat-pusat perdagangan hampir seluruhnya orang Indonesia, yang belum tentu mengerti bahasa Inggris. Itu perlakuan terhadap bahasa Indonesia yang oleh UUD 1945 diakui resmi sebagai bahasa nasional. Perlakuan terhadap bahasa daerah tentu lebih parah,” Ajip menegaskan dan mengharap agar masyarakat pemakai bahasa Sunda tidak kecil hati atau rendah diri. Sebab tak sedikit orang yang sukses dengan bermodalkan bahasa Sunda.

“Saya sering diundang ke berbagai negara di seluruh dunia, karena menguasai bahasa Sunda, bicara dan menulis dalam bahasa Sunda,” demikian Ajip Rosidi yang selama 20 tahun (1982-2002) mengajar bahasa Indonesia — seraya memperkenalkan bahasa, sastra dan budaya Sunda — di beberapa perguruan tinggi Jepang. Kepada Pemkab Garut, Ajip mengimbau agar memanfaatkan otonomi daerah untuk mengembangkan kehidupan bahasa dan sastra Sunda. Sangat menggembirakan jika Bupati Garut mewajibkan bahasa Sunda dipakai di lingkungan pemerintahan dan dijadikan bahasa pengantar pokok di sekolah-sekolah. Imbauan Ajip itu mendapat sambutan tepuk tangan sangat meriah dari hadirin.

Sastrawan lokal

Dalam membedah buku Gunem Rencep Sidem, H. Acep Zamzam Noor menyatakan kekaguman. Ia mengaku muringkak bulu punduk (meriding) tatkala membaca bait-bait puisi karya Enas Mabarti itu.

“Selain karena bahasa Sunda yang digunakannya memang indah, isinya juga sangat bernas. Saya mendapat kenikmatan tersendiri, sebagaimana saya rasakan ketika membaca beberapa puisi Rendra dan beberapa penyair lain yang puisinya memang istimewa,” kata Acep yang meminta agar Enas Mabarti melanjutkan kegiatannya berpuisi serta menghasilkan puisi-puisi yang lebih bagus lagi.

Para hadirin tampak terenyak. Beberapa orang di antaranya mengaku merasa kaget, jika di kotanya terdapat seorang sastrawan yang mampu menulis puisi semacam Gunem Rencep Sidem. Ketika ada yang menjelaskan bahwa di Garut banyak sastrawan, baik di masa silam maupun bibit-bibit harapan di masa depan, mereka lebih terkejut lagi. Nama-nama sastrawan Garut yang berkaliber “bujangga”, seperti K.H. Hasan Mustapa (mistikus/filosof/penyair) , R.Suriadiraja (pengarang wawacan Purnama Alam), R. Tjandra Dipraja (pengarang wawacan Rusiah nu Geulis), Ahdiat Kartamihardja (pengarang roman Atheis) dan lain-lain. Belum terhitung di bidang lain, seperti Sadali, Popo Iskandar (seni lukis), Ahmad Noeman (arsitek), dan sebagainya.

“Inilah perlunya para tokoh seni budaya Sunda dari Bandung, datang ke Garut dan kota-kota lain. Agar masyarakat setempat mengetahui perkembangan seni budaya secara berkesinambungan. Tidak kurung batok (berwawasan sempit),” kata mereka.

Sebuah keinginan yang jelas merupakan aspirasi daerah. Tinggal kesanggupan menyikapinya dengan kerja nyata. Pertemuan Ngahirup-huripkeun Bahasa jeung Sastra Sunda, dan bedah buku karya sastrawan lokal, hanya semacam langkah pertama. Perlu langkah-langkah selanjutnya yang kontinu. Jangan berhenti hanya sebatas “kampanye”. (H. Usep Romli H.M.)***

Sumber: Pikiran Rakyat, 05/04/2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar