Minggu, 14 Juni 2009

Penguatan Sastra Sunda di Daerah

Tahun 2000-an, penyair Taufik Ismail bersama majalah sastra Horison pernah menggelar Sastrawan Bicara Siswa Bertanya atau SBSB di sejumlah sekolah dan kampus di Indonesia. Aktivitas itu pernah juga dilakukan para sastrawan Sunda tahun 1970-1980-an.

Pada periode yang juga sangat subur dengan kehidupan kreatif bersastra itu, sejumlah sastrawan Sunda menggelar apresiasi sastra untuk pelajar di berapa kota di Jawa Barat, termasuk Banten. Namun, kegiatan itu tidak berlangsung terus-menerus alias putus karena berbagai permasalahan.

Tahun 2007, niat semacam itu tumbuh dalam organisasi Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PPSS). Beberapa waktu lalu, organisasi yang digawangi para sastrawan dan pemain teater muda ini melakukan uji coba silaturahim sastra dengan beberapa kepala sekolah dasar di Cicalengka, Bandung. Hasilnya, PPSS mendapat masukan agar melakukan sosialisasi sastra, termasuk bahasa Sunda, ke sekolah-sekolah. Apalagi, kegiatan seperti itu akan sangat membantu pihak sekolah untuk mengenalkan aneka ragam bentuk sastra dan pembelajarannya kepada siswa.

Dari pertemuan itu juga terbaca rendahnya minat baca sastra guru dan siswa. Hal itu berhubungan dengan kurangnya minat, tidak memadainya kesejahteraan untuk mengonsumsi sastra, sedikitnya informasi mengenai sastra Sunda, kurang (tidak) tersedianya bahan-bahan bacaan sastra, serta tidak adanya akses untuk memasuki sastra Sunda secara cepat dan akurat. Apalagi jika itu berhubungan dengan teknik pembelajaran basa dan sastra Sunda.

Bergulirnya otonomi daerah serta menguatnya berbagai hal yang berhubungan dengan lokalitas memberi semangat baru pula kepada sejumlah sastrawan Sunda. Apa yang dilakukan PPSS adalah gejolak terpendam yang kemudian mendapat sambutan pula dari publik, khususnya para guru di sekolah-sekolah.

Hal itu juga terlihat jelas ketika PPSS menggelar Sastra Sunda Saba Sakola pada Mei 2007 di Pakenjeng, Kecamatan Rancabuaya, Kabupaten Garut. Antusiasme guru dan siswa sekolah dasar hingga menengah terlihat besar. Kehausan mereka untuk mengenal lebih jauh beragam sastra Sunda tampak terobati oleh peristiwa langka itu. Sayang, acara itu hanya dapat dilangsungkan satu hari. Tentu saja ini berhubungan erat dengan berbagai hal yang secara teknis memang berat dan mahal. Keperluan realistis

Memang tak cukup satu hari agar pertemuan semacam itu dapat berlangsung terus-menerus. Titik temu para sastrawan dengan guru dan pelajar lewat acara semacam Saba Sastra itu, terutama di daerah, merupakan penguatan untuk mewujudkan gagasan agar sastra Sunda kembali menjadi keperluan kolektif masyarakat Sunda saat ini dan nanti. Keperluan itu sebetulnya realistis dan nyata.

Namun, kebijakan dan perhatian pemerintah daerah dan wilayah/provinsi yang kurang terhadap dunia pendidikan, khususnya sastra Sunda, harus diubah dengan cara proaktif dari para sastrawan dan tentu saja guru. Lewat pintu masuk semacam PPSS atau organisasi lainnya, yang memang peduli dan berhasrat besar untuk memajukan sastra Sunda, sastrawan Sunda dapat mendesak pemerintah untuk merevisi kebijakan mereka dalam pendidikan atau pembelajaran basa dan sastra Sunda di sekolah.

Begitu pula peran dewan sekolah dan pemerhati budaya Sunda agar mengetahui alokasi anggaran untuk penyebaran karya-karya sastra Sunda di sekolah-sekolah. Maka, akan ada kontrol, berapa dan sejauh mana karya-karya sastra Sunda tersebar di SD, SMP, dan SMA. Selama ini, terutama sebelum menguatnya otonomi, kita mungkin melihat peta buta dalam penyebaran karya sastra Sunda untuk sekolah dan perpustakaan umum. Maka, di zaman keterbukaan saat ini penyebaran karya sastra di sekolah harus dapat dilihat keberadaannya serta dapat dikontrol efektivitasnya.

Kontrol terhadap dunia pendidikan kita memang harus diperketat, terutama karena kecenderungan korupsi dalam dunia pendidikan tetap saja kuat. Penyalahgunaan dana BOS dan berbagai hal lain yang mengindikasikan kejahatan dalam dunia pendidikan masih kuat. Pada pertemuan guru-guru Basa dan Sastra Sunda SD, SMP, dan SMA se-Kota dan Kabupaten Bandung, serta beberapa wakil Ketua MGMP dari berbagai kota di Jawa Barat di Gedung YPK, 9-11 Mei 2007, terungkap bahwa tak satu pun dari mereka menerima kurikulum KTSP Basa Sunda yang seharusnya mereka terima dari Kantor Wilayah Dinas Pendidikan Jawa Barat.

Padahal, tentu saja kurikulum baru yang akan menjadi pedoman guru untuk mengajar itu seharusnya sudah mereka terima. Kita tahu bahwa anggaran untuk mencetak kurikulum dan menyebarkannya pasti mencapai miliaran rupiah. Harus serius

Jika persoalan kurikulum saja-yang alokasi dananya tentu lebih sedikit daripada bantuan pengadaan buku karya sastra atau buku pelajaran di sekolah-tidak sampai, para guru dalam MGMP dan organisasi semacam PPSS mungkin bisa melakukan semacam gugatan hukum jika memang terbukti ada penyalahgunaan dalam hal tersebut. Sebab, dalam kebutuhan pengadaan buku sastra dan buku pel-ajaran di sekolah, peran guru sangat penting. Tanpa inisiatif mereka, bahan ajar utama dan bahan ajar pembantunya tidak akan sampai sehingga pembelajaran basa dan sastra Sunda terhambat, atau malah gagal karena tidak ada atau kurang bahan.

Masuknya sastrawan ke sekolah sebagai penguat apresiasi tentu akan lebih mudah apabila dasar-dasar apresiasi hingga kritik basa dan sastra Sunda telah ada sebelumnya di sekolah. Salah satu petunjuk kuatnya adalah adanya bahan-bahan karya sastra itu di sekolah. Bila tidak, jurang apresiasi akan makin melebar dan sastrawan masuk ke sekolah atau saba sakola akan lama untuk beradaptasi.

Meskipun bahan-bahan sastra itu belum ada karena berbagai hal, kegiatan sastrawan masuk sekolah atau memberi penguatan apresiasi langsung ke daerah-daerah jangan sampai surut, apalagi jika ada sejumlah sponsor swasta yang punya perhatian besar terhadap hal ini. Alanglah tidak wajar jika pemerintah provinsi dan pemerintah setempat (tiap daerah) tidak serius memperjuangkan pendidikan basa dan sastra Sunda yang serius ini.

ERIYANDI BUDIMAN Sastrawan dan Pengamat Budaya

Sumber: Kompas, 14 Juli 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar